Setidaknya ada dua labelisasi terkait hal tersebut, yang pertama adalah masyarakat yang beraktivitas di jalanan, ungkapan “ku tunggu jandamu” korelasinya mengarah kepada: Supir, kondektur, truk, tronton, jalanan macet, panas menyengat, jalan berlubang, polusi jalanan, dan segala aktivitas di jalan raya tentunya. Segmentasi kedua, ada pada golongan yang beraktivitas di rumah dan kantoran, ungkapan “ku tunggu jandamu” korelasinya sangat situasional: untuk saat ini, mengarah kepada Artis Marshanda yang akan menggugat cerai Ben Kahsyafani, Cut Tari yang menggugat sang suami Jusuf Subrata, beberapa waktu lalu, erat dengan Septi Sanustika yang berikrar setia dengan Akhmad Fathonah meskipun sedang terjerat kasus suap impor daging Sapi, Dewi persik yang sukses berakting di film “Ku Tunggu Jandamu”, Penyanyi Irwansyah yang hits dengan lagu “Ku tunggu Jandamu”, atau pedangdut Uut Permatasari dengan liriknya “ sudah mabuk minuman ditambah mabuk judi masih saja kakang tergoda janda kembang”.
Frasa “Ku tunggu Jandamu” dan yang lainnya lahir tanpa ada tekanan, paksaan, bayaran, apalagi konspirasi politik yang marak jelang pipres tahun 2014 ini. Ini murni perwujudan keaadaan batin masyarakat Indonesaia saat ini. Ungkapan yang secara tidak langsung menggambarkan keaadaan yang sulit, tertindas, dalam ketidakberdayaan, tanpa kepastian, kecil melarat, penuh kesangsian, terjambak keterkungkungan, dsb. Tanpa berharap jawaban, kontrak politik, hitam di atas putih, semata ungkapan emosional untuk menenangkan perasaan, penangkis lapar dan dahaga, penahan rasa kantuk, atau canda tawa selagi menunggu lampu merah diperempatan jalan.
Bermula dari komunitas supir-supir truk yang piawai melukis kata-kata untuk menghiasi bak dan kaca kendaraannya, kalimat “ku tunggu jandamu” sebenarnya rancu juga kalau ditelisik dari sudut pandang Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kata ”jandamu” lebih tepat ditujukan kepada orang ketiga, dalam kalimat “ku tunggu jandamu” tentu suami dari perempuan tersebut, bukan perempuan yang dimaksud secara langsung. Kalimat ini memiliki makna seorang pria yang menunggu wanita idamannya menjadi janda dari pria yang menikahinya, karena pria tersebut masih mencintai sedangkan wanita tersebut sudah dipersunting laki-laki lain, penyebabnya, bisa karena dipaksa kedua orang tua atau cinta yang bertepuk sebelah tangan. Akhiran ‘mu’ menunjukan hak milik atau kepunyaaan orang ketiga. Berbeda dengan frasa : bukumu, rambutmu, atau mobilmu, yang secara langsung berkaitan dengan orang yang bersangkutan.
Dalam tinjauan ketatabahasaan, ungkapan (frasa) yang tak bertuan seperti di atas, misalnya “Kutunggu Jandamu” selalu memiliki pola DM, diterangkan menerangkan, ini 360 derajat dengan bahasa inggris, setiap frasa selalu memiliki pola MD, menerangkan diterangkan, inilah hal yang membuat masyarakat komunitas tertentu dengan serta merta membentuk bahasa-bahasa lepas (argot) yang lebih familiar dan yang penting mudah diingat ketika orang membacanya. Umpatan anak remaja sekarang, misalnya: Kevo, galau, alay, tongmi kodong, kamseupay,cius, cemungut, dll. Beberapa bulan yang lalu, Vicky Prasetyo juga memunculkan frasa-frasa yang membuat melek orang: kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, mengkudeta keinginan, statusisasi, dan labil ekonomi.
Maka tidak heran, menurut Radar Panca Dahana, Perkembangan Perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia tidaklah sepesat bahasa Inggris, di Inggris Setiap tahunnya ada 10000 kata baru yang terkoreksi, terlihat betul dari minimnya penambahan perbendaharaan bahasa Indonesia yang ada dalam setiap revisi Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) setiap tahunnya. Misalnya kata “Janda” dalam Kamus besar bahasa Indonesia, pengertiannya sangat terbatas pada hal yang formalitas, Istilah janda bengsrat, janda kembang, janda bentok, janda herang, hingga saat ini masih menjadi komoditas terlarang untuk menghiasi halaman demi halaman perbendaharaan ketatabahasaan kita. Wallahu A'lam Bishawab
No comments:
Post a Comment