ADUH


Ada banyak kata, ratusan bahkan ribuan jumlahnya  yang sering membuat orang terkagum, tersipu, terpesona, misalkan perkataan: kangen, sayang, cantik, cemburu,dsb. Atau yang sebaliknya, perkataan yang membuat orang marah, emosional, bahkan sumpah serapah seperti: brengsek, pengecut, jahat, bodoh, buaya darat, dsb. Tetapi dari sekian ribu diksi (pilihan kata) tersebut ada satu kata yang mewakili semua usia, suku, agama dan ras, bahkan mengakar, turun temurun dari zaman ninik anteh, dewi pohaci, putri diyu atau generasi dimas kanjeng sekalipun, semata sebagai bagian dari dialektika peradaban manusia, kata itu adalah “aduh…!”. Aduh maaf, aduh lupa, aduh kurang, aduh telat, aduh sakit, aduh ketahuan, he..he… dsb.....

Bahasa, konon adalah gabungan pikir dan rasa, manifestasi dari ekspresi seorang manusia. Dasar inilah yang mungkin menguatkan sebagian orang yang beranggapan bahwa perkataan Ahok di kepulauan seribu merupakan sebuah perkataan penistaan agama meskipun juga harus dilihat dalam konteks yang utuh bukan melulu mengedepankan urusan emosional, sara, dan aktivitas politik. Bahasa adalah hak monopoli manusia. Binatang secanggih burung Beo sekalipun sampai kapanpun tidak akan mampu untuk memiliki kemampuan berbahasa. Adapun ucapan yang ditirukan oleh burung beo misalnya, itu sebatas bunyi suara burung saja akibat dari kebiasaan mendengar.

Seruan “aduh” bagi kebanyakan orang secara tidak langsung menegaskan manusia adalah mahluk yang memiliki sifat pengecut, lemah, dan mudah frustasi. Kata “aduh” merupakan kata yang mewakili perasaan seseorang akan kegelisahan, kekecewaan, kesalahan, terjambak keterkungkungan. Begitu mudahnya seseorang mengumpat kata “aduh”, baik untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun kepada Tuhan sekalipun. “aduh” semacam umpatan yang lebih banyak berkonotasi negatif terutama dalam hal komunikasi dengan orang lain.

Kata "aduh" ini memiliki banyak makna, tergantung perspektif yang digunakan. Tetapi secara umum, sudah jelas kata ini lebih banyak berkonotasi negatif. Walaupun demikian, orang-orang masih senang mengucapkannya karena kata ini pun secara tak langsung menunjukan ekspresi si pengucapnya, semacam ungkapan untuk berapologi dalam keadaan yang kurang menguntungkan, ungkapan khas ketika seseorang mencoba berselancar dalam kesemrawutan (surfing on chaos). Dalam konteks biologi komunkasi pun demikian, sebagai ungkapan emosional seseorang, biasanya kata ini muncul dengan tiba-tiba, penuh iba dan belas kasihan.

Kebiasaan seruan maupun umpatan “aduh” tidak bisa dilepaskan dari asfek naratif film-film barat yang kemudian berdifusi pada keseharian masyarakat Indonesia. Sebut saja seruan: Fuck, Shit, Bitc, Asshole, What the hell, get the hell out of my face, dsb. Bahkan sebuah film dokumenter yang disutradarai Steve Andersson, menggunakan judul “fuck” dalam film ini, dikisahkan makna kata “fuck” alam aspek sosial, politik, kebudayaan hingga kehidupan personal. Pengucapan kata "fuck" itu sendiri tercatat sebanyak 824 kali. 

Film serupa lainnya seperti film “ Casino” Film yang dibintangi Robert DeNiro ini dirilis pada 1995. Menceritakan tentang bisnis kasino di Las Vegas. Digarap oleh sutradara kawakan, Martin Scorsese dan diangkat dari buku non-fiksi karangan Nicholas Pileggi. Kata "fuck" yang diucapkan tercatat sebanyak 398 kali. Film “Alpha Dog” Film ini dirilis pada 2007, dan dibintangi oleh Bruce Willis, Justin Timberlake, dan Ben Foster serta pemain lainnya. Film yang digarap Nick Cassavetes ini diangkat dari kisah nyata, berceritakan tentang penculikan dan pembunuhan seorang anak berusia 15 tahun yang melibatkan seorang bandar narkoba. Pengucapan kata "fuck" yang tercatat sebanyak 267 kali.

Di kalangan lingkungan Jawa pesisiran umpatan serupa juga seolah menjadi kebiasaan yang mendapat pemakluman, seperti : asu, wedus, bajingan, curut, dsb. Dalam masyarakat Sunda juga dikenal dengan seruan: boloho, belegug, abladu, kehed, bocek, dsb.(Wallohualam bisowab)   

No comments:

Post a Comment